Label

Kamis, 06 Desember 2012

aku membacanya pagi ini...
kembali muncul dengan kesederhanaan, kesamaran dan tak terjangkau
tapi kata-kata itu hidup, seperti pernah merindukanku, seperti pernah mencariku
padahal aku masih di sini meski sinarku meredup dalam kata-kata
aku tidak pernah tahu,
jangan biarkan begitu...

mari,  temukan dia, orang lain itu
mulai menuliskan kekaguman untuknya
dan ungkapkan..
cukup sesederhana itu dalam kata-kata...


Senin, 21 Mei 2012

Kuatnya Mau

Pagi ini matahari bersinar lebih panas dari biasanya, anginnya begitu kencang hingga suaranya yang tanpa menyentuh pohonpun terdengar. Dingin di kota kecil ini, dinginnya mengingatkanku tempat yang paling aku suka, yaa kau pasti tahu. Tempat yang angin dan kabutnya melimpah, yang dinginnya menusuk, yang panasnya menggosongkan kulit. Terakhir 7 bulan lalu merasakan udara tempat itu.

Sampailah aku disini denganmu, hal-hal lain bisa kuramalkan dengan tepat tapi tidak denganmu, pelajaran lain bisa ku mengerti dengan baik tidak dengan dirimu. Aku merasa salah saat tidak menjadi diriku, tetapi juga canggung saat menjadi aku. Aku lumayan bisa membaca ekspresi seseorang untuk mengetahui perasaannya tapi begitu susah denganmu. Mengorek perasaanmu sama seperti diriku yang beratnya 40 kg menggulingkan batu 5 ton, tidak bergeser batu itu. Yaahh aku terseret seperti kebanyakan perempuan-perempuan lain yang begitu ingin mengetahui perasaan laki-laki yang dekat denganya, aku juga terjerumus seperti perempuan-perempuan lain yang ingin diperhatikan, dimanja, dipuji, dikagumi. Aku berusaha tidak tenggelam dalam lumpur itu, lumpur yang berisi 99,9% perempuan, meskipun lebih dari separuh hasratku menginginkannya. Pasti kau pikir aku tidak membutuhkannya karena aku kuat, atau kau tidak memberikannya karena ingin membuatku kuat.

Kau tahu, aku bisa menghadapi apapun karena aku mau, bukan karena aku kuat. Kekuatanku hanya sama seperti yang dimiliki Thor, kemauan. Hanya karena sepertinya saat aku benar-benar mau, semua tersedia bagiku sehingga aku bisa menghadapinya. 
Dan aku mau.....
Aku mau, menyisihkan deret kalimat di atas yang paling diinginkan semua perempuan. Aku mau bingung menghadapimu. 
Tetapi aku juga mau jujur seperti air, yang jika musim dingin  ia membeku, jika dipanaskan ia mendidih, jika diterpa angin lembut ia menjadi tenang bergelombang indah. Dan jujur, kamu begitu sempurna sementara aku carut marut.

Dan kau tahu rahasiaku? aku sedang belajar memanajemen perasaanku. Aku berusaha menyadari rasa yang kurasa, menerimanya, terkadang rasa itu adalah rasa ingin menghajarmu di kepala. Aku kemudian terlelap dengan tenang, esoknya aku bangun dengan bahagia.

Semua karena aku mau bukan karena aku kuat.

Senin, 13 Februari 2012

Sunshine


Pancarannya menghangatkan, segalanya yang hidup mendapat kesempatan untuk memperoleh energi tak terkecuali aku. Cerah, bahagia dan hangat berada di dalam pancaranmu.
Menyeruak menembus pori-pori kulitku, masuk di antara helai rambutku, menerpa wajahku, menembus kain bajuku, mataku tak tersakiti dengan lembutnya silaumu. Darimana kau peroleh hangatmu yang begitu menghidupkan
Lihatlah,
yang tadinya kuncup menjadi merekah tersapu sinarmu
tadi mereka yang berdiam menggigil dalam sarangnya, mengembangkan sayap terbang bebas keluar sambil bernyanyi berkejaran
di dalam sehelai daun proses itu bergerak saat kau terpa
riak airku berkilau bak permata pun karena sinarmu, dingin dan beku permukaanku pecah dengan sentuhanmu, aku mengalir dalam hangat pelukanmu, menemaniku beriluk liuk mencari celah.
my sunshine,
lihatlah.....
aku berkilau disentuh sinarmu

Kamis, 29 Desember 2011

Hujan tak jadi turun

Aku saat ini di deret ke tiga meja kayu dengan kursi-kursinya yang di pernis cokelat. Di depan gereja Katolik yang mereka namai Santo Paulus Miki dibawah rimbun daun-daun Mahoni yang batang pokoknya lebih besar dari pelukanku. Diselimuti mendung agak gelap, menanti hujan. Bukan menanti tepatnya, hanya duduk dan ingin melihat hujan turun. Foodcourt dipo 77 namanya.

Di depanku sepiring kapal selam--yang mbak penjualnya sempat curhat tentang pembeli yang tidak membayar hingga ia harus memotong gajinya sebagai ganti-- sudah habis.
Hari ini, dari terjaga dari tidurku pukul 06.20 hingga pukul 14.12 aku lemas di lumat kebosanan kamar kecil yang tak berubah susunan dan baunya, juga tak ada mahluk hidup selain aku di kamar itu kecuali tumbuhan dalam gelas yang airnya berjentik dan dalam pot kecil yang tak ku tahu apa nama tumbuhan itu, mungkin ada juga kecoa atau semut, atau nyamuk yang luput dari perhatianku. Tak ada orang lain di kamar itu, aku sendiri ingin menghadirkan mereka dengan menonton dua film berdurasi masing-masing dua jam, hanya untuk menghadirkan obrolan-obrolan aktornya untuk menjepit sepi. Lumayan, aku bisa tertawa sendiri. tapi entah kenapa, aku tak tahan tidak melihat sesuatu yang bergerak, tidak tahan untuk tidak melihat orang-orang meskipun asing berlalu lalang, aku tidak tahan sehari hanya duduk dan berbaring, aku tidak tahan untuk tidak berjalan, untuk tidak keluar.

handphoneku sama dengan sunyinya kamarku. Ia diam, tanpa obrolan lisan dan tulisan. Hari ini sama seperti diriku, jempolku ikut libur memencet keyboard kecil Hp yang setahuku dinamai tuts qwerty. Mendung di sini menghadirkan dingin memaksa merinding. Suasana rumah yang hangat di liburan natal memaksa otakku untuk mengenangnya. Keramaiannya, aroma masakan mama yang meskipun rasanya tidak begitu nikmat, menenangkan. Ya ampun. Aku rindu pulang.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, pulang berdefinisi sebagai kembali ke rumah atau kembali ke tempat asalnya. Aku tidak memiliki rumah, tetapi ibuku dan bapakku sebagai tempat di mana aku berasal, memilikinya sehingga aku menganggap rumah dimana mereka tinggal itulah rumahku. Sudah terlalu lama tidak bertemu mereka. Bertemu rumah.

hasshh...., di meja lain selain mejaku, orang-orang bergerombol minimal berdua-dua. gelak mereka ku dengar di sela obrolan-obrolan santai ringan. Biasa bagiku, dan mungkin aku mencintai suasana ini. Kesendirian. Dihari biasa, aku susah mendapatkannya.

1 jam 20 menit berlalu, hujannya belum juga turun-turun. Sepertinya mendungnya memudar, semakin terang. Tetapi dinginnya tetap.

Selasa, 22 November 2011

km

Tenang gemuruh yang bergejolak selama ini, aku bisa membayangkan masa depanku bersamamu. Bertemu denganmu di tempat yang paling aku sukai, sejak itu kau kusimpan dan kurasa. Bercerita dan diam bersamamu kunikmati. Kau tergelak, tertidur, tersenyum ku kagumi. Ingin ku hentikan gerak waktu yang berlalu begitu cepat jika ada kau.

Aku tau bisa mengandalkanmu karna kau tidak bersandar padaku. Kekuatanmu penuh, berdiri teguh tanpa gantungan. Tenangmu meredakan gejolakku yang tak terarah. Pemikir yang dalam, konseptor matang dengan sejuta pertimbangan melengkapiku yang spontan tak terencana. Segala perhatian terucap melalui tindakmu melengkapiku yang ekspresif namun terkadang canggung bertindak. Diammu menetralkan ocehan ocehanku yang tak jelas.

Aku segar terbenam dalam tatap matamu yang teduh tajam, tak mau ku beranjak dari sana. Hangatmu mencairkan, terpancar matang dan bijak. Kerelaanmu membiarkanku melakukan sesuatu yang kumau menunjukkan percayamu dan kurasa kau tidak ingin merenggut sayapku bebas.

Senang sudah bertemu dan mengenalmu, baru sejengkal kita lewati berharap ada berjuta mil atau mungkin sepanjang jalan di depan untukku disampingmu.

Selasa, 20 September 2011

Peka

Hidupku sudah di gariskan, dari kecil bakat yang ada padaku (lebih tepat "mungkin ada"), pendidikan yang kujalani hingga sekarang, keselurahannya menuntunku pada profesi yang akan melekat padaku selamanya. Aku akan hidup darinya, nanti keluargaku dan anak-anakku akan hidup darinya pula. Pekerjaanku nantinya akan bergelut dengan kepingan-kepingan puzle pribadi seseorang. Aku harus mencari kepingan-kepingan itu, membalik, menyusun, menutup keping yang hilang dengan mungkin membuat imitasi keping yang baru. Menyembuhkan, mengisi, mengganti, memberi makna. Pekerjaan yang tidak mudah bukan? Jangan sampai aku memasang kepingan puzle dengan terbalik hingga menghasilkan wajah yang lain yang bukan sebenarnya. Aku harus membuka puluhan lembaran, mencari dan harus menebak dengan benar.

Aku teringat kata-kata dosenku "jika kalian mau mengenal seseorang dengan tepat, kenalilah lebih dulu dirimu dengan dalam.."
Kepekaan adalah senjata utama untuk menunjangku. aku masih ragu apa aku telah memilikinya dengan utuh, atau baru sebagian atau malah belum sama sekali.
Katanya, harus dilatih dari diri sendiri, mencoba mengenal dan peka terhadap perasaan-persaan sendiri bahkan yang terburuk sekalipun dan menerimanya... dengan begitu aku akan lebih memungkinkan membangun hubungan yang menyembuhkan dengan orang lain. Mungkin benar juga...
bagaimana bisa ingin membangun hubungan yang menyembuhkan bila tidak dapat menerima perasaan sendiri dan kemudian perasaan orang lain, bahkan yang terburuk sekalipun? dan bagaimana bisa menerima jika tidak peka?

Dalam kamus besar bahasa kita, bahasa Indonesia peka berarti : tidak lalai, mudah merasa, mudah bergerak, mudah menerima atau meneruskan pengaruh. Peka terhadap perasaan berarti menyadari (
aware) apa yang dirasa, merasa apa yang dirasa, tidak menyangkal atau mengabaikan.
Dengan diri sendiri kita dapat memilah-milah apa yang dirasa tersebut. Menyadarinya dan menerimanya, sehingga dapat memperbaiki dan berdamai dengannya. Bagaimana dengan peka terhadap perasaan orang lain? Perasaan mereka tergambar melalui kata-kata yang mereka gunakan, melalui gerakan, melalui tatapan mata, melalui cara berpikir dan bekerja dan melalui diam mereka. Peka berarti mampu menangkap benang merah dari keseluruhan yang ditunjukkan, dan kita pun dapat bertindak, dapat masuk dengan tepat dan diterima. Ada kenyamanan yang dirasa mereka, jika kita mampu untuk peka. Semakin nyaman, mereka akan semakin menumpahkan seluruhnya, awal munculnya hubungan yang menyembuhkan.

Semakin sering bertemu, berbicara dan menjalin relasi dengan banyak orang lain yang berbeda-beda, kepekaan akan semakin terasah. Begitu kata ibu bosku dulu di belakang kalimat "Helty, kamu hanya kurang peka...".

Peka mudah muncul dalam hati yang murni dan tidak memanfaatkan, tidak menghakimi dan tidak melabel. Dan hati yang terbuka lebar untuk menerima.

Kamis, 15 September 2011


Kesadaran yang meninggalkannya kini berangsur kembali. Benarkah? tak ada yang dapat memastikan. Setelah begitu banyak yang ia lalui sepanjang jalur sejarah hidupnya yang sebagian besar dilalui dengan sendiri, ia menutup pintunya rapat-rapat dengan ketakutan dan kelemahan diri, dengan pikiran-pikiran tentang kejadian masa lampau, tak seorangpun dapat masuk. Lama kelamaan ia menikmati kesepian meski akhirnya fungsi psikisnya terbelah, berhenti menjadi utuh karena beratnya tekanan yang ia tanggung sendiri.

Aku bertemu dengannya. Berbicara dengannya dalam banyak kesempatan, bermain dengannya, mengamatinya.

Awal bertemu dengannya, ia menyalamiku dengan bergetar. Laki-laki ini sekitar 25an , tubuhnya kurus agak membungkuk ringkih, rambutnya berombak tak tertarur, tingginya sedikit lebih tinggi dariku dengan kulit pucat putih, gerakan kaku, dan mata yang tak bertatap. Dari saat itu aku selalu memperhatikannya, mencari kesempatan untuk berbicara dengannya di antara waktu sendirinya, diantara waktu lamunannya, di antara waktu tidurnya yang banyak dan di sela waktu makan siangnya yang lahap.

Aku mengusahakan kehadiranku sebagai teman yang nyaman, duduk dekat dengan mata menatapnya, tersenyum padanya, menerima semua omongannya tanpa interupsi hanya untuk mencoba membuat tangan dan bibirnya tak bergetar saat bersamaku. Ia bercerita dengan alur yang berantakan, tak berarah. Terkadang di tengah-tengah obrolan ia terdiam tiba-tiba dengan mata menumbuk tajam sesuatu yang tak jelas, tak berkedip seketika itu ia memutuskan pertemuan. Suara yang mengoceh dalam pikirannya menyuruhnya untuk tidak bercerita denganku.

Aku mengikutinya senantiasa, kegiatan apapun yang dilakukannya hari itu. Hingga di suatu gedung terpisah dengan pemantauan penanggung jawab, aku menemukan raket badminton, mengajaknya bermain denganku. Permainan yang menyenangkan ini membuat getaran di tangan dan bibirnya meninggalkannya saat bersamaku, ada senyum kecil menghias bibirnya sekilas beberapa kali saat bermain. Meskipun hari itu ia kehabisan banyak tenaga, di hari-hari berikutnya ia bercerita banyak denganku dengan tatapan mata sekali-sekali yang sebelumnya tak pernah ada. Ia bercerita tentang suara-suara yang menggema dalam pikirannya yang hanya ia sendiri dapat mendengar, tentang keyakinan-keyakinannya, amukan-amukan dan amarahnya, oohh..benar-benar kesadaran telah meninggalkannya.

Apa yang kau pikirkan saat ini setelah meninggalkan tempat perawatan itu?, apakah orang-orang di lingkunganmu menatapmu miring?, yaa itu tekanan paling berat setelah keluar dari sini, mereka melabel dan memberi cap tak tampak yang tak hilang. Seandainya dengan mudah aku dapat membalik arah pikiranmu, menyambung yang terputus, menyatukan yang terpecah; cukup hidup seperti burung pipit yang kecil atau bunga bakung di padang saja.