Label

Kamis, 29 Desember 2011

Hujan tak jadi turun

Aku saat ini di deret ke tiga meja kayu dengan kursi-kursinya yang di pernis cokelat. Di depan gereja Katolik yang mereka namai Santo Paulus Miki dibawah rimbun daun-daun Mahoni yang batang pokoknya lebih besar dari pelukanku. Diselimuti mendung agak gelap, menanti hujan. Bukan menanti tepatnya, hanya duduk dan ingin melihat hujan turun. Foodcourt dipo 77 namanya.

Di depanku sepiring kapal selam--yang mbak penjualnya sempat curhat tentang pembeli yang tidak membayar hingga ia harus memotong gajinya sebagai ganti-- sudah habis.
Hari ini, dari terjaga dari tidurku pukul 06.20 hingga pukul 14.12 aku lemas di lumat kebosanan kamar kecil yang tak berubah susunan dan baunya, juga tak ada mahluk hidup selain aku di kamar itu kecuali tumbuhan dalam gelas yang airnya berjentik dan dalam pot kecil yang tak ku tahu apa nama tumbuhan itu, mungkin ada juga kecoa atau semut, atau nyamuk yang luput dari perhatianku. Tak ada orang lain di kamar itu, aku sendiri ingin menghadirkan mereka dengan menonton dua film berdurasi masing-masing dua jam, hanya untuk menghadirkan obrolan-obrolan aktornya untuk menjepit sepi. Lumayan, aku bisa tertawa sendiri. tapi entah kenapa, aku tak tahan tidak melihat sesuatu yang bergerak, tidak tahan untuk tidak melihat orang-orang meskipun asing berlalu lalang, aku tidak tahan sehari hanya duduk dan berbaring, aku tidak tahan untuk tidak berjalan, untuk tidak keluar.

handphoneku sama dengan sunyinya kamarku. Ia diam, tanpa obrolan lisan dan tulisan. Hari ini sama seperti diriku, jempolku ikut libur memencet keyboard kecil Hp yang setahuku dinamai tuts qwerty. Mendung di sini menghadirkan dingin memaksa merinding. Suasana rumah yang hangat di liburan natal memaksa otakku untuk mengenangnya. Keramaiannya, aroma masakan mama yang meskipun rasanya tidak begitu nikmat, menenangkan. Ya ampun. Aku rindu pulang.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, pulang berdefinisi sebagai kembali ke rumah atau kembali ke tempat asalnya. Aku tidak memiliki rumah, tetapi ibuku dan bapakku sebagai tempat di mana aku berasal, memilikinya sehingga aku menganggap rumah dimana mereka tinggal itulah rumahku. Sudah terlalu lama tidak bertemu mereka. Bertemu rumah.

hasshh...., di meja lain selain mejaku, orang-orang bergerombol minimal berdua-dua. gelak mereka ku dengar di sela obrolan-obrolan santai ringan. Biasa bagiku, dan mungkin aku mencintai suasana ini. Kesendirian. Dihari biasa, aku susah mendapatkannya.

1 jam 20 menit berlalu, hujannya belum juga turun-turun. Sepertinya mendungnya memudar, semakin terang. Tetapi dinginnya tetap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar