Kesadaran yang meninggalkannya kini berangsur kembali. Benarkah? tak ada yang dapat memastikan. Setelah begitu banyak yang ia lalui sepanjang jalur sejarah hidupnya yang sebagian besar dilalui dengan sendiri, ia menutup pintunya rapat-rapat dengan ketakutan dan kelemahan diri, dengan pikiran-pikiran tentang kejadian masa lampau, tak seorangpun dapat masuk. Lama kelamaan ia menikmati kesepian meski akhirnya fungsi psikisnya terbelah, berhenti menjadi utuh karena beratnya tekanan yang ia tanggung sendiri.
Aku bertemu dengannya. Berbicara dengannya dalam banyak kesempatan, bermain dengannya, mengamatinya.
Awal bertemu dengannya, ia menyalamiku dengan bergetar. Laki-laki ini sekitar 25an , tubuhnya kurus agak membungkuk ringkih, rambutnya berombak tak tertarur, tingginya sedikit lebih tinggi dariku dengan kulit pucat putih, gerakan kaku, dan mata yang tak bertatap. Dari saat itu aku selalu memperhatikannya, mencari kesempatan untuk berbicara dengannya di antara waktu sendirinya, diantara waktu lamunannya, di antara waktu tidurnya yang banyak dan di sela waktu makan siangnya yang lahap.
Aku mengusahakan kehadiranku sebagai teman yang nyaman, duduk dekat dengan mata menatapnya, tersenyum padanya, menerima semua omongannya tanpa interupsi hanya untuk mencoba membuat tangan dan bibirnya tak bergetar saat bersamaku. Ia bercerita dengan alur yang berantakan, tak berarah. Terkadang di tengah-tengah obrolan ia terdiam tiba-tiba dengan mata menumbuk tajam sesuatu yang tak jelas, tak berkedip seketika itu ia memutuskan pertemuan. Suara yang mengoceh dalam pikirannya menyuruhnya untuk tidak bercerita denganku.
Aku mengikutinya senantiasa, kegiatan apapun yang dilakukannya hari itu. Hingga di suatu gedung terpisah dengan pemantauan penanggung jawab, aku menemukan raket badminton, mengajaknya bermain denganku. Permainan yang menyenangkan ini membuat getaran di tangan dan bibirnya meninggalkannya saat bersamaku, ada senyum kecil menghias bibirnya sekilas beberapa kali saat bermain. Meskipun hari itu ia kehabisan banyak tenaga, di hari-hari berikutnya ia bercerita banyak denganku dengan tatapan mata sekali-sekali yang sebelumnya tak pernah ada. Ia bercerita tentang suara-suara yang menggema dalam pikirannya yang hanya ia sendiri dapat mendengar, tentang keyakinan-keyakinannya, amukan-amukan dan amarahnya, oohh..benar-benar kesadaran telah meninggalkannya.
Apa yang kau pikirkan saat ini setelah meninggalkan tempat perawatan itu?, apakah orang-orang di lingkunganmu menatapmu miring?, yaa itu tekanan paling berat setelah keluar dari sini, mereka melabel dan memberi cap tak tampak yang tak hilang. Seandainya dengan mudah aku dapat membalik arah pikiranmu, menyambung yang terputus, menyatukan yang terpecah; cukup hidup seperti burung pipit yang kecil atau bunga bakung di padang saja.
Aku mengikutinya senantiasa, kegiatan apapun yang dilakukannya hari itu. Hingga di suatu gedung terpisah dengan pemantauan penanggung jawab, aku menemukan raket badminton, mengajaknya bermain denganku. Permainan yang menyenangkan ini membuat getaran di tangan dan bibirnya meninggalkannya saat bersamaku, ada senyum kecil menghias bibirnya sekilas beberapa kali saat bermain. Meskipun hari itu ia kehabisan banyak tenaga, di hari-hari berikutnya ia bercerita banyak denganku dengan tatapan mata sekali-sekali yang sebelumnya tak pernah ada. Ia bercerita tentang suara-suara yang menggema dalam pikirannya yang hanya ia sendiri dapat mendengar, tentang keyakinan-keyakinannya, amukan-amukan dan amarahnya, oohh..benar-benar kesadaran telah meninggalkannya.
Apa yang kau pikirkan saat ini setelah meninggalkan tempat perawatan itu?, apakah orang-orang di lingkunganmu menatapmu miring?, yaa itu tekanan paling berat setelah keluar dari sini, mereka melabel dan memberi cap tak tampak yang tak hilang. Seandainya dengan mudah aku dapat membalik arah pikiranmu, menyambung yang terputus, menyatukan yang terpecah; cukup hidup seperti burung pipit yang kecil atau bunga bakung di padang saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar