Aku tidak memanggil orangtua kandungku yang laki-laki dengan sapaan ayah, tidak juga papa, tidak juga papi, juga tidak daddy. Aku memanggilnya dengan sapaan Bapak.
Bapakku, ia memiliki semua pesona laki-laki. Lembut, hangat, lucu, jujur, tidak bisa jika tidak melakukan apa-apa. Tubuhnya tidak lebih tinggi dari kakak laki-lakiku, waktu aku berusia kira-kira 5 atau 6 tahun perutnya tidak buncit. Ia suka merokok, pernah berhenti ketika adikku yang paling kecil lahir, meskipun beberapa tahun kemudian ia kembali melakukannya di luar rumah. Aku ingat bau keringatnya, kasar janggutnya yang baru di cukur ketika bermain denganku saat ku kecil dan napasnya yang berbau rokok.
Saat ku kecil, kami terlalu sering melakukan banyak hal bersama. menggambar bersama, ke kebun bersama, ke gereja bersama, menanam buah dari kampung halamannya bersama, bercerita bersama.
Cerita-ceritanya membuat pikiran kecilku berhayal tanpa batas menembus langit-langit kamar, masuk dalam petualangan cerita yang entah itu dongeng atau kenyataan atau campuran dari keduanya. Cerita-ceritanya membuat aku tertawa bersama adik-adikku, juga membuatku mengangis tersedu yang menjadi bahan ejekan kakakku. Dan hal yang paling berbeda yang dimiliki bapakku saat bercerita adalah, setelah ia membuat ceritanya bersambung, aku dan adikku mendapat giliran pula untuk bercerita. Aku kemudian mengungkapkan sebuah hayalan dari kepala kecilku, tidak sampai 5 menit lamanya, dan kemudian adikku. Kami pun membuat cerita kami bersambung atau selesai dengan ending membingungkan. Namun cerita bapakku selalu bersambung, meskipun cerita hari kemarin telah selesai, hari ini cerita itu pasti berlanjut.
Coretan-coretan pensil dari tangannya di atas kertas HVS adalah gambar terindah yang diciptakan manusia yang pernah kulihat saat ku kecil. Dari gambar berkembang sebuah cerita, dan kami menggambar bersama, ia tidak pernah melarangku menggambar apapun, dimanapun. tak terkecuali di dinding rumah kami yang bercat putih tidak begitu putih, di sofa, di pintu lemari, di lantai, di manapun.
Ia pandai mengukir. Gambar dua dimensi berubah menjadi tiga dimensi ditangannya. Dan aku pun turut serta menyumbangkan 0,5 persen kemampuanku pada ukiran kayunya. Aku benar-benar turut menekan sesuatu berbentuk obeng yang lancip untuk menggali kayu. Dan aku benar-benar turut menyapu permukaan amplas kayu kasar untuk menghaluskannya. Bapakku mengijinkanku. Ia tidak takut aku merusak karya indahnya. Kalaupun rusak sepertinya itu tidak mengganggunya.
Aku dan bapakku membeli bibit ikan bersama, memeliharanya, memanennya, mengolahnya (kecuali memasaknya) dan memakannya bersama.
Aku dan bapakku menanam bersama, menyiram bersama, merawatnya, memupuknya bersama.
Aku dan bapakku ke dokter gigi bersama, ia menungguiku di samping kursi pasien dokter gigi, melihat gusiku di bongkar. Aku pulang dengan menangis kesakitan di samping bapakku.
Aku dan bapakku mendaftar jenjang sekolah lebih tinggi bersama, kami memasuki rumah yang baru untuk pertama kalinya(dibangun untukku dan saudaraku) bersama, ia membuatkan sarapan roti tawar dengan telur ceplok untukku di hari pertamaku sekolah di tingkat atas.
Bapakku menjemputku pulang saat aku kehabisan angkota.
Saat dingin karena demam menyerangku sendiri, jaket bapakku adalah jaket paling hangat di seluruh dunia yang pernah kurasakan.
Bapakku, aku merindukannya.
Ia tinggal bersama mamaku di desa kecil di pinggir kota, dengan pulau yang terpisah jauh dengan pulau yang kupijak saat ini.
Aku merindukannya.
Tawanya menenangkanku, menghangatkanku.
Bapakku tidak suka makanan berkuah dicapur dengan nasi, sama sepertiku.
Bapakku suka sarapan sambil berdiri di depan TV, akupun suka melakukannya.
Ia memakan segala sesuatu yang dapat dimakan, tidak alergi pada apapun, sama sepertiku.
Bapakku, aku merindukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar